Kamis, 24 Mei 2012

Tugas 12 (Aspek Hukum dalam Ekonomi)

Kondisi Hukum Perdata di Indonesia


           Seorang Pakar Hukum, Prof. Dr. H. Koesnoe, S.H., yang dalam tulisannya di majalah Varia Peradilan, Oktober 1993, menamakan hukum yang kita pakai sekarang sebagai "hukum hibrida", hukum yang tempel sana tempel sini, adat tidak, Bart pun bukan. Hukum hibrida yang dilukiskan oleh Prof. Koesnoe itu terutama bidang hukum perdata (BW-Barat). Hukum Perdata BW yang kita ambil alih dari Belanda berdasarkan asa konkordansi pada zaman Hindia Belanda itu, sekarang kita terapkan dengan perubahan-perubahan dan tafsiran-tafsiran. Tidak dengan peraturan perubahan menurut cara yang lazim bagi perubahan suatu undang-undang, melainkan hanya menurut arus selera penguasa atau hakim yang menerapkannya. Di negeri asalnya sendiri (Belanda), BW yang kita pakai telah ditinggalkan.

          Pada tahun 1952, Prof. Kusumadi, S.H., pakar hukum perdata dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, mengingatkan hal itu dalam tulisannya di majalah Hukum No. 3/1952. Pada tulisannya itu, Prof. Kusumandi mengungkapkan keheranannya karena sebagai bangsa yang berdaulat dan dalam negara kesatuan, Indonesia masih mempunyai tiga hukum perdata : Barat,Adat,dan Islam. Bahkan di perguruan tinggi hukum ada pula tiga mimbar kuliah untuk mengajarkan ketiga macam hukum perdata tersebut. Dalam tulisan itu, Prof. Kusumadi menyarankan agar mimbar kuliah itu dipegang oleh seorang guru besar yang menguasai ketiga bidang hukum perdata itu. Diharapkan dengan itu lama-lama guru besar tersebut dapat menciptakan satu hukum perdata yang berlaku sebagai hukum perdata Indonesia. Sayangnya,imbauan Prof. Kusumandi itu tidak mendapat sambutan sama sekali dari pakar hukum kita waktu itu. Imbauan tersebut hilang begitu saja tanpa kesan.

          Akibat keracunan hukum itu terlihat dalam masyarakat. Bukan hanya di kalangan rakyat biasa, bahkan di kalangna orang yang seharusnya memberikan pengarahan dan menegakkan hukum. Dikalangna rakyat biasa, yang terjadi adalah seperti yang digambarkan oleh Prof. Sarlito, yaitu bertindaknya ego-ego individual dalam masyarakat mengambil pemenuhan kepentingan-kepentingan dengan tangannya sendiri (main hakim sendiri). Di kalangan orang-orang yang lebih mengerti hukum, akibat dari keracuan hukum itu sama saja, hanya keracunan di kalangan ini dibungkus oleh teori-teori dan pendapat-pendapat yang kelihatannya ilmiah dan canggih.

           Pendapat-pendapat hukum bertebaran mengikuti kepentingan-kepentingan sesaat, dan tidak jarang kepentingan-kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang ada hubungannya dengan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan, maupun dengan kepentingan hukum pada umumnya. Maka, apa yang kita saksikan sekarang adalah kegemuruhan usul-usul dan saran-saran di bidang hukum untuk mengadakan undang-undang atau peraturan-peraturan di bidang hukum untuk mengadakan undang-undang atau peraturan-per-aturan ini dan itu, atau meminta menghidupkan lagi lembaga-lembaga hukum yang telah lama dinyatakan hapus, atau malah meminta agar undang-undang tertentu dihapus karena konon bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

 


SUMBER :
http://books.google.co.id/books?id=mOBUoa8HuyYC&pg=PA64&dq=kondisi+hukum+perdata+di+indonesia&hl=id&sa=X&ei=sAi-T5nqC4HZrQf0oKG8DQ&ved=0CEYQ6AEwBA#v=onepage&q=kondisi%20hukum%20perdata%20di%20indonesia&f=false

0 komentar:

Posting Komentar